Minggu, 17 Februari 2013



Sekilas Tentang Biospeleologi
Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes (sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999). Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja (Epsinasa & Vuong 2008).
Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar gua. Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).
Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat menarik dan unik. Kondisi lingkungan karst yang kering, beberapa jenis flora harus mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan yang tinggi pada musim kemarau selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga mengharuskan semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi pada lingkungan karst. Flora di kawasan karst mempunyai keunikan di segala hal. Keanekaragaman dan komposisi jenisnya sangat berbeda dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya. Flora di kawasan karst mempunyai tingkat keendemikan yang sangat tinggi dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Beberpa jenis flora seperti anggrek, pakupakuan, palem dan pandang merupakan jenis yang terkadang hidup di tebingtebing karst. Beberapa adaptasi flora terhadap kondisi lingkungan karst adalah kemampuan hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran yang sangat panjang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas sumber air, contoh pohon beringin (Ficus spp.). Beberapa jenis mampu beradaptasi pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya. Adaptasi tersebut dengan cara meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem perakaran di udara bebas, contoh anggrek yang mampu memanfaatkan celahcelah batuan untuk tumbuh. Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas yang sangat tinggi terkadang, satu bukit karst mempunyai satu jenis yang tidak ditemukan di bukit yang lain di sekelilingnya (Vermaullen and Whitten 1999).
Fauna permukaan karst belum banyak yang meneliti, namun diyakini tebingtebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis burung yang khas seperti gelatik Jawa yang ditemukan di tebingtebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Tebingtebing karst juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di dahandahan yang tumbuh di tebing karst. Berbagai jenis mamalia juga sering dijumpai seperti macan kumbang, macan tutul maupun jenisjenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik adalah fauna yang hidup di kegelapan gua. Kondisi gua yang gelap sepanjang masa, berbagai jenis fauna mempunyai morfologi yang unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki, warna putih pucat dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contohcontoh fauna khas gua yang ditemukan di Gunung sewu antara lain: kepiting gua (Sesarmoides jacobsoni) dan udang gua (Macrobrachium poeti). Jenisjenis khas lainnya seperti Isopoda terestrial yang sangat kecil yang ditemukan di Gua semuluh dan Gua Bribin yaitu Javanoscia elongata dan Tenebrioscia antennuata. Jenisjenis udang lainnya juga mempunyai kekhasan tersendiri namun sampai sekarang belum diteliti lebih lanjut seperti udang kecil yang ditemukan di Gua Jomblang Bedoyo. Ikanikan gua juga sangat menarik karena biasanya mempunyai mata yang sangat kecil. Gunung sewu merupakan tempat temuan jenis ikan khas gua yang sudah terancam punah yaitu Puntius microps yang ditemukan di perairan bawah tanah. Berbagai jenis fauna bertulang belakang lainnya juga sering ditemukan hidup di dalam gua. Fauna yang paling sering ditemui adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar menghuni loronglorong gua di Gunung Sewu, baik jenisjenis pemakan serangga maupun pemakan buah. Jenisjenis pemakan serangga lebih banyak hidup di loronglorong yang sempit dan jauh di dalam gua sedangkan pemakan buah banyak menghuni lorong gua yang tidak jauh dari mulut gua.
Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat (Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas : kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba-laba (Arachnidae: Decapoda).
Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :
1.      Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih kelelawar (Chiroptera), lalat (Muscoidae), kumbang (Lathridiidae), jangkerik (Gryllidae), Kecoa (Blattidae), kala jengking (Scorpionodae), laba-laba (Arachnidae), semut (Formicidae), ular (Boidae), kodok (Anura) ekor pegas/ Collembola berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoidesemdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis:Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros:Insecta).
2.      Troglozene yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa mengunakan mata. Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua, karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua. Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia adalah burung walet (Collocalia fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung sriti (Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).
3.      Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.
semoga bermanfaat.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar