Selasa, 26 Februari 2013

Tarsius


Tahukah kalian tentang primata kecil di Indonesia?




  
Sebelum kalian tahu jawabannya mari kita lihat dimana habitat primata unik yang satu ini. Fauna ini sering kali ditemui di Pulau Sulawesi namun tidak menutup kemungkinan ditemukan pula di pulau tetangga seperti yang ditemukan di Pulau Kalimantan. Sulawesi memiliki luas 187.882 km² dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di daerah biogeografi “Wallacea“. Daerah biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain yang berada di antara garis Wallacea di sebelah barat dan garis Lydekker di sebelah timur. Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karenya diduga di masa lampau pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun (Hall dalam Shekelle dan Leksono, 2004). Sulawesi merupakan pulau yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, banyak flora dan fauna endemik yang tidak dijumpai di daerah lain di Indonesia. Menurut Shekelle dan Leksono (2004) hal ini disebabkan oleh adanya evolusi yang disebabkan oleh keadaan terisolasi dalam kurun waktu yang, sehingga pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas yang tinggi.
Tarsius dialah primata kecil yang mewarnai kekayaan fauna Indonesia. Primata ini salah satu spesies endemik yang terdapat di Pulau Sulawesi yang setiap spesiesnya tersebar secara endemik di pulau Sulawesi dari Kepulauan Sangihe di sebelah utara, hingga Pulau Selayar. 

Tarsius termasuk ke dalam satwa yang dilindungi. Hal ini didasarkan pada Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 dan Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999. Tarsius ini termasuk Appendiks II dalam Convention on International Trade in Endangered Species (CITES 2003) dan termasuk vulnerable dalam Red List yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN 2011).

Tarsius berasal dari famili Tarsiidae ordo Tarsiiformes. Genus ini memiliki beberapa spesies diantaranya yaitu Tarsius bancanus yang ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, Tarsius syrichta yang ditemukan di Filipina (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius, yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T. pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis yang diketahui dari jenis berbeda tetapi belum diberi nama (Groves dan Shekelle 2010).

Klasifikasi Tarsius fuscus menurut Groves dan Shekelle 2010 adalah sebagai berikut:
Ordo            : Primata
Subordo       :Haplorrhini
Infraordo    :Tarsiiformes
Famili          :Tarsiidae 
Genus          :Tarsius 
Species       :Tarsius sp

Pada perkembangannya, Groves dan Shekelle (2010) merevisi taksonomi genus tarsius dan mengklasifikasinya hanya menjadi 3 genus, yaitu Tarsius, Chephalopacus dan Carlito sehingga hanya spesies yang berada di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian dari genus Tarsius. Sementara, spesies yang berada di Kalimantan dan Sumatera, yaitu Tarsius bancanus menjadi bagian dari genus Chephalopacus dan namanya berganti menjadi Chephalopacus bancanus. Begitu juga dengan Tarsius syrichta yang berada di Filipina menjadi bagian dari genus Carlito dan berganti nama menjadi Carlito syrichta. Selain itu, Groves dan Shekelle (2010) juga membatasi penyebaran Tarsius tarsier. Pada awalnya T. tarsier menyebar dari kepulauan Selayar hingga Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi, namun setelah revisi tersebut jenis ini hanya tersebar di Kepulauan Selayar. Sedangkan tarsius yang berada di Semenanjung Barat Daya Sulawesi kini disebut sebagai Tarsius fuscus. Perubahan ini didasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah kromosom tiap jenis.

Tarsius memiliki rambut tebal dan halus yang menutupi tubuhnya. Warna rambut bervariasi, tergantung dari jenis, yaitu merah tua, coklat hingga keabu-abuan. Tarsius yang berasal dari Sulawesi memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya rambut warna putih di belakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu. Panjang tubuh 85 - 160 mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius jantan dewasa sekitar 75 - 165 g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan dengan panjang tangan bahkan panjang tubuh secara total. Hal ini berkaitan dengan cara bergeraknya, yaitu meloncat (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Niemitz dan Verlag (1984) menyatakan bahwa tarsius memiliki keistimewaan pada mata karena penglihatan pada malam hari lebih tajam. Organ mata pada tarsius merupakan organ terbesar dibanding organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180°.Bagian bawah jari-jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang memungkinkan tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di tempat yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali lipat panjang badan dan kepala untuk memberikan kekuatan melompat karena sebagian besar gerakan tarsius adalah melompat secara vertikal (Wharton 1974). 

Tarsius banyak ditemukan di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dengan hutan sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal perladangan atau pertanian. Sedangkan pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan di sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat (Sinaga et al. 2009). Sedangkan menurut Napier dan Napier (1986), habitat tarsius adalah berbagai tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, semak berduri, hutan bakau dan ladang penduduk. Selain itu, tarsius juga dapat hidup di hutan primer yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan perkebunan karet (Niemitz dan Verlag 1984).

Pohon tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu pohon tempat tidur dalam satu wilayah kawanan (Kinnaird 1997). Sarang tarsius lebih banyak menempati jenis-jenis pohon  Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus (Sinaga et al. 2009). Menurut Widyastuti (1993), kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga pohon yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan, bambu, dan umumnya jenis berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap. Sinaga et al. (2009) menambahkan bahwa ketinggian pohon tidur atau sarang tarsius adalah antara 0- 20 m di atas permukaan tanah serta lebih tergantung pada jenis tumbuhan dan kondisi habitatnya.

Sampai saat ini telah ditemukan 16 populasi tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum, T. sangirensis, T. pumillus, T. pelengensis dan T. Dianae (Shekelle et al.,2008). Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk keperluan konservasi. Wirdateti dan Dahrudin (2006) menyatakan bahwa setiap sarang tarsius terdapat 3-6 individu dengan komposisi anak, remaja dan induk atau dalam bentuk keluarga.

Pola hidup tarsius selalu membentuk suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Sifat ini akan mempercepat pemusnahan spesies karena mereka akan sukar beradaptasi dengan kelompok lain apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial Tarsius spectrum pada umumnya membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamus) dan hanya sekitar 20% saja yang bersifat multi male-multi female (beberapa jantan atau betina dalam suatu kelompok) (Supriatna dan Wahyono 2000).

Tarsius merupakan satwa insektivora, dan menangkap serangga dengan melompat pada serangga itu. Mereka juga diketahui memangsa vertebrata kecil seperti burung, ular, kadal dan kelelawar. Saat melompat dari satu pohon ke pohon lain, tarsius bahkan dapat menangkap burung yang sedang bergerak. Kehamilan berlangsung enam bulan, kemudian tarsius melahirkan seekor anak. Tarsius muda lahir berbulu dan dengan mata terbuka serta mampu memanjat dalam waktu sehari setelah kelahiran. Mereka mencapai masa dewasa setelah satu tahun. Tarsius dewasa hidup berpasangan dengan jangkauan tempat tinggal sekitar satu hektar.

Tarsius mengeluarkan suara yang khas untuk berkomunikasi antar spesies (Niemitz dan Verlag 1984). Gursky (1999) menambahkan tarsius memiliki komunikasi vocal sebagai siulan kepada kelompok yang tidak dikenal atau sebagai tanda bila ada gangguan, komunikasi calling concerts dan family choruses. Terdapat tujuh nada panggil yang dikeluarkan tarsius, baik sebagai alarm call untuk memanggil anggota kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, teritorial call, fear call, threat call, nada-nada yang dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan, nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan. Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi sehingga berada di luar jangkauan atau tangkapan manusia. Sinaga et al. (2009) menyebutkan bahwa dalam kondisi normal suara tarsius dapat terdengar dari jarak yang cukup jauh dan saling bersahut-sahutan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain atau antar individu dalam satu kelompok.

DAFTAR PUSTAKA
DEPHUT (Departemen Kehutanan). Direktorat PPA. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka; Mamalia. Bogor: Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam.
Groves C, Shekelle M. 2010. The genera and species of tarsiidae. International Journal of Primatology 31 (6): 1071- 1082.
Gursky S. 1999. The Tarsiidae: Taxonomy, Behavior and Conservation Status. Di dalam: Dolhinow P, Fuentes. Non Human Primates. United States of America: The John Hopkins University Press.
IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2011. Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/. [15 September 2012].
Kinnaird MF. 1997. Sulawesi Utara Sebuah Panduan Sejarah Alam. Volume 1. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallaceae.
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural History of The Primates. Cambridge: The MIT Press.
Niemitz C, Verlag FG. 1984. Biology of Tersier. New York: Pustet Reagensburg.
Shekelle M, Groves C, Merker S, Supriatna J. 2008. Tarsius tumpara: A New Tarsier Species from Siau Island, North Sulawesi. Primate Conservation (23): 55-64.
Sinaga W, Wirdateti, Iskandar E dan Pamungkas J. 2009. Pengamatan habitat pakan dan sarang Tarsius (Tarsius sp.) wilayah sebaran di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Jurnal Primatologi Indonesia 6 (2): 41-47.
Supriatna J., Wahyono EH. 2000. Panduan Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wharton CH. 1974. Seeking mindanau’s strength creatures national geography. Journal Mammal. 51(3): 225-230.
Widyastuti Y. 1993. Flora Fauna Maskot Nasional dan Propinsi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Wirdateti, Dahrudin H. 2006. Pengamatan pakan dan habitat Tarsius spectrum di Cagar Alam Tangkoko- Batu Angus, Sulawesi Utara. Biodiversitas 2 (9): 152-155.





Senin, 18 Februari 2013

Me


Melawan Dunia
by Peterpan

Kita adalah hati yang tertindas

Kitalah langkah yang berhenti berjalan
Kitalah mimpi yang tak terwujudkan
Senandungkan nada-nada yang indah
Kita memahami yang sesungguhnya
Dan tak harus menjelaskan semua
Tanpa pedulikan kata mereka
Kita berjalan melawan dunia
Hanya bisa bicara
Mereka tak beri jawaban
Tak perlu dengar kata mereka
Teruslah berjalan
Tak perlu dengar kata mereka
Teruslah berjalan
Kita adalah hati yang tertindas
Kitalah langkah yang berhenti berjalan
Kitalah mimpi yang tak terwujudkan
Senandungkan nada-nada yang indah
Tak perlu dengar kata mereka
Teruslah berjalan
Tak perlu dengar kata mereka
Teruslah berjalan
Tak perlu dengar kata mereka
Teruslah berjalan
Tak perlu dengar kata mereka
Teruslah berjalan

Lagu ini menggambarkan tentang saya saat ini.

Minggu, 17 Februari 2013



Sekilas Tentang Biospeleologi
Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai faktor lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa batu gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes (sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999). Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua karena kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja (Epsinasa & Vuong 2008).
Menurut Russo et al. (2003) dinding dan atap gua merupakan penyangga efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan lingkungan luar gua. Oleh karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat yang berbeda dari luar gua. Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko (2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi yang berasal dari hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di luar gua (hewan Troglozene).
Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna yang sangat menarik dan unik. Kondisi lingkungan karst yang kering, beberapa jenis flora harus mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan yang tinggi pada musim kemarau selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga mengharuskan semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi pada lingkungan karst. Flora di kawasan karst mempunyai keunikan di segala hal. Keanekaragaman dan komposisi jenisnya sangat berbeda dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya. Flora di kawasan karst mempunyai tingkat keendemikan yang sangat tinggi dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Beberpa jenis flora seperti anggrek, pakupakuan, palem dan pandang merupakan jenis yang terkadang hidup di tebingtebing karst. Beberapa adaptasi flora terhadap kondisi lingkungan karst adalah kemampuan hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran yang sangat panjang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas sumber air, contoh pohon beringin (Ficus spp.). Beberapa jenis mampu beradaptasi pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya. Adaptasi tersebut dengan cara meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem perakaran di udara bebas, contoh anggrek yang mampu memanfaatkan celahcelah batuan untuk tumbuh. Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas yang sangat tinggi terkadang, satu bukit karst mempunyai satu jenis yang tidak ditemukan di bukit yang lain di sekelilingnya (Vermaullen and Whitten 1999).
Fauna permukaan karst belum banyak yang meneliti, namun diyakini tebingtebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis burung yang khas seperti gelatik Jawa yang ditemukan di tebingtebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Tebingtebing karst juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di dahandahan yang tumbuh di tebing karst. Berbagai jenis mamalia juga sering dijumpai seperti macan kumbang, macan tutul maupun jenisjenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik adalah fauna yang hidup di kegelapan gua. Kondisi gua yang gelap sepanjang masa, berbagai jenis fauna mempunyai morfologi yang unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki, warna putih pucat dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contohcontoh fauna khas gua yang ditemukan di Gunung sewu antara lain: kepiting gua (Sesarmoides jacobsoni) dan udang gua (Macrobrachium poeti). Jenisjenis khas lainnya seperti Isopoda terestrial yang sangat kecil yang ditemukan di Gua semuluh dan Gua Bribin yaitu Javanoscia elongata dan Tenebrioscia antennuata. Jenisjenis udang lainnya juga mempunyai kekhasan tersendiri namun sampai sekarang belum diteliti lebih lanjut seperti udang kecil yang ditemukan di Gua Jomblang Bedoyo. Ikanikan gua juga sangat menarik karena biasanya mempunyai mata yang sangat kecil. Gunung sewu merupakan tempat temuan jenis ikan khas gua yang sudah terancam punah yaitu Puntius microps yang ditemukan di perairan bawah tanah. Berbagai jenis fauna bertulang belakang lainnya juga sering ditemukan hidup di dalam gua. Fauna yang paling sering ditemui adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar menghuni loronglorong gua di Gunung Sewu, baik jenisjenis pemakan serangga maupun pemakan buah. Jenisjenis pemakan serangga lebih banyak hidup di loronglorong yang sempit dan jauh di dalam gua sedangkan pemakan buah banyak menghuni lorong gua yang tidak jauh dari mulut gua.
Menurut Ko (2004), di kawasan karst penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al. (1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat mencapai jutaan individu dalam satu gua. Berdasarkan sumber energinya, jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus, yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4) predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat (Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta), kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae: Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas : kutu (Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae: Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia). Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas (Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba-laba (Arachnidae: Decapoda).
Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.

Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa & Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :
1.      Troglobit, yaitu hewan yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap, seperti tidak berpigmen dan lebih kelelawar (Chiroptera), lalat (Muscoidae), kumbang (Lathridiidae), jangkerik (Gryllidae), Kecoa (Blattidae), kala jengking (Scorpionodae), laba-laba (Arachnidae), semut (Formicidae), ular (Boidae), kodok (Anura) ekor pegas/ Collembola berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran. Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain. Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit: Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes). Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus: Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha: Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoidesemdi: Crustacea), isopoda gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis:Insecta), dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros:Insecta).
2.      Troglozene yaitu fauna yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk berlindung, beristirahat, dan berkembang biak, tetapi mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene telah beradaptasi dengan kondisi gua yang gelap. Menurut Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa mengunakan mata. Kelompok fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua, karena fauna troglozene memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua. Fauna troglozene yang sering ditemukan di gua karst di Indonesia adalah burung walet (Collocalia fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung sriti (Hirundo tahitica), dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).
3.      Troglophil, yaitu fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes: Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani: Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.
semoga bermanfaat.. 

Kamis, 14 Februari 2013

inspiration and spirit

Ini adalah kutipan puisi yang ditulis oleh P.Diponegoro dan R.A Kartini yang disatukan. Puisi ini dijadikan sandi ambalan untuk prambozz, sebutan untuk pramuka di sma ku. Rangkaian kata-kata inilah yang memberikan ku inspirasi dan penyemangat dalam hidup ku.
Fajar menyingsing
Cahaya Ilahi bangkitkan semangat
Semangat tak kan kunjung padam
Walau meriam menghantam
Walau seribu kali banyaknya kan kau lawan
Walau nyawa melayang
Tekad sudah bulat, Panji telah dikibarkan
Pantang tuk diturunkan
Pedang dikanan keris dikiri
Kan kau genggam sampai terbit fajar kemenangan
Sempitnya ruang terkalahkan oleh luasnya pikiran
Walau mataku terkurung, walu ragaku terkekang
Pikiran jiwa dan perasaan ku tetap melayang
Melayang jauh mencari makna kehidupan
Dunia tak sesempit yang kau duga
Pikirmu tak sesempit yang ku duga
Harta benda tak membuat kau bahagia
Kebahagiaan sejatimu adalah
Kala mereka lepas dari belenggu ruang waktu
Tulus pengabdianmu tiada terkira
Kekar berdirimu tiada terduga
Lambat namun pasti langkahmu
Tegas namaun santun lakumu
Setia kau temani ku
Ku asah pedang nan tajam tiada terkalahkan
Generasi muda nan perwira pijakan kakimu di bumi nan subur
Berkaryalah untuk jaya, bangunlah untuk negara, majulah untuk menang
Aral dihati tak jadi penghalang
Walau tali putus tak kan pupus
Sungguh tanggung jawab tak’kan ku hindari
Sungguh kepercayaan tak’kan ku khianati
Ku pegang janjiku, ku lantunkan pengabdianku
Maju serang terjang terbitlah terang
P.Diponegoro-R.A Kartini  




Rabu, 13 Februari 2013

dream


Ada angan yang ingin terwujud
Ada mimpi yang ingin menjadi nyata
Ada asa yang ingin kucapai
Ada harapan yang ingin kuraih
Ada cita yang ingin tercapai
Ada doa yang ingin terkabul
Semua angan, mimpi, asa, harapan, cita dan doa
Harus ku capai,
Tak’kan ku biarkan semua angan, mimpi, asa, harapan, cita dan doa
Luntur terbang dan hilang sia-sia