Indonesia merupakan negara yang kaya
keanekaragaman hayati. Salah satu bentuk keanekaragaman hayati Indonesia adalah
ekosistem karst. Ekosistem karst adalah kesatuan komunitas mahluk hidup dengan berbagai
faktor lingkungan yang terdapat pada suatu kawasan dengan batuan dasar berupa
batu gamping atau kapur. Ciri khas kawasan karst adalah adanya celah sinkholes
(sarang air), sungai bawah tanah, dan gua (Samodra 2006). Celah sinkholes dan
sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga
ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air (Vermeulen & Whitten 1999).
Selain itu, ekosistem karst juga berfungsi sebagai habitat biota khas gua
karena kondisi unik gua karst yang hanya dapat dihuni oleh fauna tertentu saja
(Epsinasa & Vuong 2008).
Menurut Russo et al. (2003) dinding
dan atap gua merupakan penyangga efektif yang memisahkan lingkungan dalam gua
dengan lingkungan luar gua. Oleh karenanya, lingkungan dalam gua memiliki mikroklimat
yang berbeda dari luar gua. Dinding dan atap gua merupakan pembatas yang
memisahkan lingkungan dalam gua dengan luar gua. Dinding dan atap tersebut
tidak tembus sinar matahari. Akibatnya, kondisi dalam gua menjadi gelap dan
tumbuhan hijau (autotrof) tidak ditemukan. Meskipun demikian, menurut Ko
(2004), ruang dalam gua dapat ditempati oleh mahluk hidup. Hal ini karena
sumber energi didatangkan dari luar gua melalui unsur hara yang terlarut dalam
aliran air, debu zat-zat organik yang terbawa oleh udara serta bahan nutrisi
yang berasal dari hewan yang bersarang di dalam gua tetapi mencari makan di
luar gua (hewan Troglozene).
Kawasan karst menyimpan kekayaan flora fauna
yang sangat menarik dan unik. Kondisi lingkungan karst yang kering, beberapa
jenis flora harus mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan yang tinggi pada
musim kemarau selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga mengharuskan semua
jenis flora dan fauna mampu beradaptasi pada lingkungan karst. Flora di kawasan
karst mempunyai keunikan di segala hal. Keanekaragaman dan komposisi jenisnya
sangat berbeda dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya. Flora di kawasan
karst mempunyai tingkat keendemikan yang sangat tinggi dengan potensi ekonomi
yang sangat tinggi. Beberpa jenis flora seperti anggrek, paku‐pakuan, palem dan pandang merupakan jenis yang terkadang hidup di tebing‐tebing karst. Beberapa adaptasi flora terhadap kondisi lingkungan karst
adalah kemampuan hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran yang sangat
panjang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas sumber air,
contoh pohon beringin (Ficus spp.). Beberapa jenis mampu beradaptasi
pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya. Adaptasi tersebut dengan
cara meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem
perakaran di udara bebas, contoh anggrek yang mampu memanfaatkan celah‐celah batuan untuk tumbuh. Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas
yang sangat tinggi terkadang, satu bukit karst mempunyai satu jenis yang tidak
ditemukan di bukit yang lain di sekelilingnya (Vermaullen and Whitten 1999).
Fauna permukaan karst belum banyak yang
meneliti, namun diyakini tebing‐tebing karst merupakan
habitat bagi berbagai jenis burung yang khas seperti gelatik Jawa yang
ditemukan di tebing‐tebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Tebing‐tebing karst juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang
di dahan‐dahan yang tumbuh di tebing karst. Berbagai jenis mamalia juga sering
dijumpai seperti macan kumbang, macan tutul maupun jenis‐jenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik adalah fauna yang hidup di kegelapan
gua. Kondisi gua yang gelap sepanjang masa, berbagai jenis fauna mempunyai
morfologi yang unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki, warna putih
pucat dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contoh‐contoh fauna khas gua yang ditemukan di Gunung sewu antara lain: kepiting
gua (Sesarmoides jacobsoni) dan udang gua (Macrobrachium poeti). Jenis‐jenis khas lainnya seperti Isopoda terestrial yang sangat kecil yang
ditemukan di Gua semuluh dan Gua Bribin yaitu Javanoscia elongata dan Tenebrioscia
antennuata. Jenis‐jenis udang lainnya juga mempunyai kekhasan tersendiri namun sampai
sekarang belum diteliti lebih lanjut seperti udang kecil yang ditemukan di Gua
Jomblang Bedoyo. Ikan‐ikan gua juga sangat menarik karena biasanya mempunyai mata yang sangat
kecil. Gunung sewu merupakan tempat temuan jenis ikan khas gua yang sudah
terancam punah yaitu Puntius microps yang ditemukan di perairan bawah
tanah. Berbagai jenis fauna bertulang belakang lainnya juga sering ditemukan
hidup di dalam gua. Fauna yang paling sering ditemui adalah kelelawar. Berbagai
jenis kelelawar menghuni lorong‐lorong gua di Gunung
Sewu, baik jenis‐jenis pemakan serangga maupun pemakan buah. Jenis‐jenis pemakan serangga lebih banyak hidup di loronglorong yang sempit dan
jauh di dalam gua sedangkan pemakan buah banyak menghuni lorong gua yang tidak
jauh dari mulut gua.
Menurut Ko (2004), di kawasan karst
penghubung utama antara ekosistem luar gua dan ekosistem dalam gua adalah
burung dan Mamalia. Jenis-jenis burung di antaranya adalah walet (Aerodramus
fuciphagus) dan sriti (Hirundo tahitica), sedangkan kelompok
Mamalia adalah ordo Chiroptera (kelelawar). Menurut Whitten et al.
(1999) dan Sinaga et al. (2006) fauna troglozene utama di gua-gua karst
di Pulau Jawa adalah kelelawar. Bahkan jumlah populasi kelelawar tersebut dapat
mencapai jutaan individu dalam satu gua. Berdasarkan sumber energinya,
jenis-jenis fauna yang hidup di gua menurut Ko (2004) dibedakan menjadi: 1) necrophagus,
yaitu fauna pemakan bangkai 2) cocroaphagus, yaitu fauna pemakan
kotoran/feses 3) parasit, yaitu fauna yang hidup pada fauna lain dan 4)
predator, yaitu fauna pemakan fauna lain. Penelitian McCure (1985) di Gua Batu
Malaysia mendapatkan necrophagus terdiri atas : lalat
(Muscoidae:Insekta) dan semut (Formicidae: Insekta); cocroaphagus terdiri
atas ekor pegas (Collembola: Insekta/Hexapoda), kumbang (Stratiomyiidae: Insekta),
kecoa (Blattidae: Insekta), kumbang (Tineidae: Insekta), jangkerik (Gryllothalpidae:
Insekta) dan jangkerik (Gryllidae: Insekta); parasit terdiri atas : kutu
(Ichneumonidae: Insekta); dan predator terdiri atas : kala jengking (Scorpionidae:
Arachnida) , semut (Formicidae: Inseta) dan ular (Elaphe taeniura: Reptilia).
Penelitian Wirawan (2004) di Gua Pawon Jawa Tengah mendapatkan ekor pegas
(Collembola: Insekta), lalat (Diptera:Insekta), kecoa (Blatodea:Insekta), dan
kumbang (Colleoptera:Insekta) sebagai pemakan guano. Fauna-fauna tersebut
kemudian dimakan oleh kodok (Bufo: Amphibia) dan laba-laba (Arachnidae:
Decapoda).
Ruang dalam gua yang gelap dan lembap menyebabkan fauna gua harus beradaptasi pada keadaan tersebut. Adaptasi oleh fauna gua ini memerlukan waktu yang panjang. Hasil adaptasi tersebut menurut Espinasa & Vuong (2008) menghasilkan ciri-ciri sebagai berikut: 1) tubuh tidak berpigmen, 2) mempunyai alat gerak yang ramping dan panjang, 3) indera peraba atau pendengar berkembang; 4) mata tereduksi atau hilang sama sekali, 5) metabolisme lambat.
Menurut Suyanto (2001) dan Espinasa &
Vuong (2008) berdasarkan tingkat adaptasinya, fauna gua dibedakan menjadi :
1.
Troglobit, yaitu hewan
yang telah mengalami modifikasi khusus sesuai dengan kondisi gua yang gelap,
seperti tidak berpigmen dan lebih kelelawar
(Chiroptera), lalat (Muscoidae),
kumbang (Lathridiidae), jangkerik (Gryllidae), Kecoa (Blattidae), kala jengking
(Scorpionodae), laba-laba (Arachnidae), semut (Formicidae), ular (Boidae), kodok
(Anura) ekor pegas/ Collembola berfungsinya indera peraba, penciuman, dan pendengaran.
Troglobit merupakan penghuni tetap gua yang tidak dapat hidup di habitat lain.
Oleh karena itu, hewan troglobit merupakan kelompok yang paling fragil di antara
kelompok lainnya. Espinasa & Vuong (2008) mendapatkan serangga troglobit:
Nicoletiid (Zygentoma: Insecta) di Gua Oaxaca, Mexico. Menurut Whitten et
al. (1999) fauna troglobit yang sering ditemukan di gua-gua karst di Pulau
Jawa adalah kepiting (Sesarmoides jacobsoni: Crustacea ), Udang putih (Macrobrachium
poeti: Crustacea) dan ikan buta (Puntius binotatus: Osteicthyes).
Penelitian Wijayanti (2001) di Gua Petruk dan Gua Jatijajar Jawa Tengah
mendapatkan fauna troglobit: ikan buta (Amblyopsis spelaeus:
Osteicthyes), udang gua (Macrobrachium pilimanus: Crustacea), laba-laba
gua (Stigophrynus darmamani: Arachnidea), dan kumbang gua (Eustra
saripaensis: Insekta). Hasil penelitian Rachmadi (2003) di gua Karst
Ngerong, Tuban, Jawa Timur, mendapatkan fauna troglobit: kalajengking gua (Chaerilus
sabinae: Scorpionidae), kepiting gua (Cancrocaeca xenomorpha:
Cruatacea), kepiting mata kecil (Sesarmoidesemdi: Crustacea), isopoda
gua (Cirolana marosina: Isopoda), kumbang gua (Eustra saripaensis:Insecta),
dan ekor pegas gua (Pseudosinella maros:Insecta).
2.
Troglozene yaitu fauna
yang secara teratur masuk ke dalam gua untuk berlindung, beristirahat, dan
berkembang biak, tetapi mencari makan di luar gua. Meskipun hanya sebagian
hidupnya berada di dalam gua, hewan troglozene telah beradaptasi dengan kondisi
gua yang gelap. Menurut Vermeulen & Whitten (1999), fauna troglozene
mempunyai kemampuan echolokasi, yaitu kemampuan menangkap gelombang
pantul (gema) berfrekuensi ultrasonik (>20 KHz). Echolokasi ini berguna
untuk mendeteksi mangsa dan orientasi ruang tanpa mengunakan mata. Kelompok
fauna troglozene merupakan spesies kunci dalam ekosistem gua, karena fauna troglozene
memindahkan energi dari luar gua ke dalam gua. Fauna troglozene yang sering
ditemukan di gua karst di Indonesia adalah burung walet (Collocalia
fuciphaga/Aerodramus fuciphagus), burung sriti (Hirundo tahitica),
dan kelelawar (ordo Chiroptera) (Whitten et al. 1999).
3.
Troglophil, yaitu
fauna yang hidup di dalam gua, tetapi belum mengalami modifikasi khusus. Fauna
ini selama hidupnya berada dalam gua, tetapi jenis yang sama juga ditemukan di
luar gua. Bila terjadi gangguan di dalam gua, fauna troglophil dapat pindah ke
habitat luar gua. Penelitian Castillo et al. (2009) di Los Ricos
Cave, Queretaro, Mexico mendapatkan kodok (Eleutherodactylus longipes:
Anura) sebagai fauna troglophil yang secara musiman memasuki gua. Menurut
Whitten et al. (1999) jangkerik (Rhapidophora dammarmani:
Insekta), kumbang (Collasoma scrutater: Insekta), laba-laba (Liphistius
sp: Arachnidae), dan keong (Thiara scabra: Gastropoda) merupakan
troglophil yang sering dijumpai di gua-gua karst di Pulau Jawa.
semoga bermanfaat..
semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar