Tahukah kalian tentang primata kecil di Indonesia?
Sebelum
kalian tahu jawabannya mari kita lihat dimana habitat primata unik yang satu
ini. Fauna ini sering kali ditemui di Pulau Sulawesi namun tidak menutup
kemungkinan ditemukan pula di pulau tetangga seperti yang ditemukan di Pulau
Kalimantan. Sulawesi memiliki luas 187.882 km²
dan merupakan pulau terbesar dan terpenting di daerah biogeografi “Wallacea“.
Daerah biogeografi Wallacea meliputi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau lain yang
berada di antara garis Wallacea di sebelah barat dan garis Lydekker di sebelah
timur. Ditinjau dari sejarah geologinya, pulau Sulawesi sangat menarik, karenya
diduga di masa lampau pulau ini tidak pernah bersatu dengan daratan manapun
(Hall dalam Shekelle dan Leksono, 2004). Sulawesi merupakan pulau yang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi, banyak flora dan fauna endemik yang tidak
dijumpai di daerah lain di Indonesia. Menurut Shekelle dan Leksono (2004) hal
ini disebabkan oleh adanya evolusi yang disebabkan oleh keadaan terisolasi
dalam kurun waktu yang, sehingga pulau Sulawesi mempunyai tingkat endemisitas
yang tinggi.
Tarsius dialah primata kecil yang mewarnai kekayaan fauna
Indonesia. Primata ini salah satu spesies endemik yang terdapat di Pulau
Sulawesi yang setiap spesiesnya tersebar secara endemik di pulau Sulawesi dari
Kepulauan Sangihe di sebelah utara, hingga Pulau Selayar.
Tarsius termasuk ke dalam satwa yang dilindungi. Hal ini
didasarkan pada Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 dan Peraturan
Pemerintah No.7 Tahun 1999. Tarsius ini termasuk Appendiks II dalam Convention on International Trade in Endangered
Species (CITES 2003) dan termasuk vulnerable dalam Red List
yang dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN
2011).
Tarsius berasal dari famili Tarsiidae
ordo Tarsiiformes. Genus ini
memiliki beberapa spesies diantaranya yaitu Tarsius bancanus yang
ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, Tarsius syrichta yang ditemukan di
Filipina (Wirdateti dan Dahrudin 2006). Di Sulawesi terdapat 11 jenis tarsius,
yaitu T. tarsier, T. fuscus, T. sangirensis, T. pumilus, T. dentatus, T.
pelengensis, T. lariang, T. tumpara, T. wallacei dan 2 jenis
yang diketahui dari jenis berbeda tetapi belum diberi nama (Groves dan Shekelle
2010).
Klasifikasi Tarsius
fuscus menurut Groves dan Shekelle 2010 adalah sebagai berikut:
Ordo :
Primata
Subordo :Haplorrhini
Infraordo :Tarsiiformes
Famili :Tarsiidae
Genus :Tarsius
Species :Tarsius sp
Pada perkembangannya, Groves dan
Shekelle (2010) merevisi taksonomi genus tarsius dan mengklasifikasinya hanya
menjadi 3 genus, yaitu Tarsius, Chephalopacus dan Carlito sehingga hanya
spesies yang berada di Pulau Sulawesi dan sekitarnya yang menjadi bagian dari
genus Tarsius. Sementara, spesies yang berada di Kalimantan dan Sumatera, yaitu Tarsius bancanus menjadi
bagian dari genus Chephalopacus dan namanya berganti menjadi Chephalopacus
bancanus. Begitu juga dengan Tarsius syrichta yang
berada di Filipina menjadi bagian dari genus Carlito dan berganti nama menjadi Carlito syrichta.
Selain itu, Groves dan Shekelle (2010) juga membatasi penyebaran Tarsius tarsier.
Pada awalnya T. tarsier menyebar dari kepulauan Selayar hingga
Semenanjung Barat Daya Pulau Sulawesi, namun setelah revisi tersebut jenis ini
hanya tersebar di Kepulauan Selayar. Sedangkan tarsius yang berada di
Semenanjung Barat Daya Sulawesi kini disebut sebagai Tarsius fuscus.
Perubahan ini didasarkan pada perbedaan morfologi dan jumlah kromosom tiap
jenis.
Tarsius memiliki rambut tebal dan halus
yang menutupi tubuhnya. Warna rambut bervariasi, tergantung dari jenis, yaitu
merah tua, coklat hingga keabu-abuan. Tarsius yang berasal dari Sulawesi
memiliki ciri khas bila dibandingkan dengan jenis lain yaitu adanya rambut
warna putih di belakang telinga dan rambut penutupnya berwarna abu-abu. Panjang
tubuh 85 - 160 mm, dan panjang ekornya 135 - 275 mm. Berat tubuh tarsius jantan
dewasa sekitar 75 - 165 g. Panjang kaki jauh lebih panjang bila dibandingkan
dengan panjang tangan bahkan panjang tubuh secara total. Hal ini berkaitan
dengan cara bergeraknya, yaitu meloncat (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Niemitz dan Verlag (1984) menyatakan
bahwa tarsius memiliki keistimewaan pada mata karena penglihatan pada malam
hari lebih tajam. Organ mata pada tarsius merupakan organ terbesar dibanding
organ kepala lainnya. Kepala dapat berputar sampai dengan 180°.Bagian bawah
jari-jari tangan dan kaki tarsius terdapat tonjolan atau bantalan yang
memungkinkan tarsius untuk melekat pada berbagai permukaan saat melompat di
tempat yang licin. Tarsius memiliki kaki belakang yang panjangnya dua kali
lipat panjang badan dan kepala untuk memberikan kekuatan melompat karena
sebagian besar gerakan tarsius adalah melompat secara vertikal (Wharton 1974).
Tarsius banyak ditemukan di luar hutan
lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dengan hutan sekunder,
hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal perladangan atau
pertanian. Sedangkan pohon tidur atau sarang tarsius umumnya ditemukan di
sekitar hutan sekunder dan perladangan dengan vegetasi yang rapat (Sinaga et
al. 2009). Sedangkan menurut Napier dan Napier (1986), habitat tarsius adalah
berbagai tipe hutan yaitu hutan hujan tropis, semak berduri, hutan bakau dan
ladang penduduk. Selain itu, tarsius juga dapat hidup di hutan primer yang
didominasi oleh famili Dipterocarpaceae dan perkebunan karet (Niemitz dan
Verlag 1984).
Pohon
tidur merupakan pusat kehidupan bagi tarsius dan terdapat paling sedikit satu
pohon tempat tidur dalam satu wilayah kawanan (Kinnaird 1997). Sarang tarsius
lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa sp., Ficus sp., Imperata cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus
tiliaceus (Sinaga et al. 2009). Menurut Widyastuti (1993), kelompok
tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di rongga-rongga
pohon yang berlubang terutama pohon Ficus sp., pandan hutan,
bambu, dan umumnya jenis berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak
gelap. Sinaga et al. (2009) menambahkan bahwa ketinggian pohon tidur atau
sarang tarsius adalah antara 0- 20 m di atas permukaan tanah serta lebih
tergantung pada jenis tumbuhan dan kondisi habitatnya.
Sampai saat ini telah ditemukan 16
populasi tarsius di Sulawesi yang kemungkinan dapat menjadi spesies tersendiri
dan baru lima spesies di antaranya yang sudah mempunyai nama yaitu T. spectrum,
T. sangirensis, T. pumillus, T. pelengensis dan T. Dianae (Shekelle et
al.,2008). Sebelas spesies lainnya masih perlu pemberian nama untuk keperluan
konservasi. Wirdateti dan Dahrudin (2006) menyatakan bahwa setiap sarang
tarsius terdapat 3-6 individu dengan komposisi anak, remaja dan induk atau
dalam bentuk keluarga.
Pola hidup tarsius selalu membentuk
suatu unit sosial yang meliputi sepasang individu dewasa bersifat monogami dan
tinggal bersama keturunannya dalam suatu teritorial. Sifat ini akan mempercepat
pemusnahan spesies karena mereka akan sukar beradaptasi dengan kelompok lain
apabila terjadi perusakan habitat dan hutan. Unit sosial Tarsius
spectrum pada umumnya membentuk pasangan sebanyak 80% (monogamus) dan
hanya sekitar 20% saja yang bersifat multi male-multi female (beberapa jantan
atau betina dalam suatu kelompok) (Supriatna dan Wahyono 2000).
Tarsius
merupakan satwa insektivora, dan menangkap serangga dengan melompat pada serangga itu.
Mereka juga diketahui memangsa vertebrata kecil seperti burung, ular, kadal dan
kelelawar. Saat melompat dari
satu pohon ke pohon lain, tarsius bahkan dapat menangkap burung yang sedang
bergerak. Kehamilan berlangsung enam bulan, kemudian tarsius melahirkan
seekor anak. Tarsius muda lahir berbulu dan dengan mata terbuka serta mampu
memanjat dalam waktu sehari setelah kelahiran. Mereka mencapai masa dewasa
setelah satu tahun. Tarsius dewasa hidup berpasangan dengan jangkauan tempat
tinggal sekitar satu hektar.
Tarsius mengeluarkan suara yang khas
untuk berkomunikasi antar spesies (Niemitz dan Verlag 1984). Gursky (1999)
menambahkan tarsius memiliki komunikasi vocal sebagai siulan kepada kelompok
yang tidak dikenal atau sebagai tanda bila ada gangguan, komunikasi calling
concerts dan family choruses. Terdapat tujuh nada panggil yang
dikeluarkan tarsius, baik sebagai alarm call untuk memanggil anggota
kelompoknya keluar dan kembali ke sarang, teritorial call, fear call, threat
call, nada-nada yang dikeluarkan induk maupun anak dalam masa pengasuhan,
nada-nada yang dikeluarkan oleh jantan dan betina dalam mencari pasangan.
Beberapa nada panggil tersebut memiliki frekuensi yang tinggi sehingga berada
di luar jangkauan atau tangkapan manusia. Sinaga et al. (2009) menyebutkan
bahwa dalam kondisi normal suara tarsius dapat terdengar dari jarak yang cukup
jauh dan saling bersahut-sahutan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain
atau antar individu dalam satu kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
DEPHUT (Departemen Kehutanan). Direktorat
PPA. 1978. Pedoman Pengelolaan Satwa Langka; Mamalia. Bogor: Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam.
Groves C, Shekelle M. 2010. The genera
and species of tarsiidae. International Journal of Primatology 31 (6): 1071-
1082.
Gursky S. 1999. The Tarsiidae:
Taxonomy, Behavior and Conservation Status. Di dalam: Dolhinow P, Fuentes. Non
Human Primates. United States of America: The John Hopkins University Press.
IUCN] International Union for
Conservation of Nature. 2011. Red List of Threatened Species.
http://www.iucnredlist.org/. [15 September 2012].
Kinnaird MF. 1997. Sulawesi Utara
Sebuah Panduan Sejarah Alam. Volume 1. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallaceae.
Napier JR, Napier PH. 1985. The Natural
History of The Primates. Cambridge: The MIT Press.
Niemitz C, Verlag FG. 1984. Biology of
Tersier. New York: Pustet Reagensburg.
Shekelle M, Groves C, Merker S,
Supriatna J. 2008. Tarsius tumpara: A New Tarsier Species from Siau Island,
North Sulawesi. Primate Conservation (23): 55-64.
Sinaga W, Wirdateti, Iskandar E dan
Pamungkas J. 2009. Pengamatan habitat pakan dan sarang Tarsius (Tarsius sp.)
wilayah sebaran di Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Jurnal Primatologi Indonesia
6 (2): 41-47.
Supriatna J., Wahyono EH. 2000. Panduan
Lapang Primata Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wharton CH. 1974. Seeking mindanau’s
strength creatures national geography. Journal Mammal. 51(3): 225-230.
Widyastuti Y. 1993. Flora Fauna Maskot
Nasional dan Propinsi. Jakarta: Penebar Swadaya.
Wirdateti, Dahrudin H. 2006. Pengamatan
pakan dan habitat Tarsius spectrum di Cagar Alam Tangkoko- Batu Angus, Sulawesi
Utara. Biodiversitas 2 (9): 152-155.